Jepitcom

qodariyah vs jabariyah


Qodariyah vs Jabariyah



PENDAHULUAN
Setelah Nabi saw wafat, umat Islam berusaha menegakkan sunah dalam keputusan-keputusan hukum dan aqidah. Akibat munculnya sutuasi baru sebagai dampak ekspansi wilayah Islam, maka muncul pula kebutuhan akan keputusan-keputusan terhadap hal-hal yang belum ada ketentuan sunah atasnya dan perlunya bimbingan ke arah masa depan. Kondisi ini melatarbelakangi timbulnya beberapa permasalahan baru yang melahirkan cara pandang dan pendapat yang berbeda-beda. Satu diantara permasalahan tersebut adalah perihal status orang mukmin yang berdosa besar. Khawarij dalam permasalahn ini menetapkan bahwa pelaku dosa besar secara mutlak terlepas dari status sebagai mukmin, sedangkan Murji'ah menyerahkan permasalahan ini kepada kebijaksanaan Alloh swt untuk diputuskan pada hari akhir.Selain itu permasalahan pertanggungjawaban dosa ini mendorong timbulnya aliran Qodariyah yang menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan absolut. Manusia merupakan pencipta atas perbuatannya dan sepenuhnya akan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Reaksi terhadap pandangan Qodariyah ini ditandai dengan munculnya aliran Jabariyah yang berpendapat bahwa perbuatan manusia benar-benar telah ditentukan. Untuk lebih jelasnya tentang aliran Jabariyah dan Qodariyah akan dipaparkan dalam pembahasan berikut.


JABARIYAH (FATALISM/PREDESTINATION)
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Sedangkan menurut Al-Syahrastani Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakekat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Alloh swt. Pendiri aliran Jabariyah yaitu Ja'ad bin Dirham dan Jahm bin Shafwan. Ja'ad orang pertama yang memperkenalkan ajaran Jabariyah atau Predestination (keterpaksaan) manusia, maka Jahm bin Shafwan adalah orang pertama yang menyebarkannya, sehingga aliran ini sering disebut juga dengan aliran Jahamiyah. Dia seorang mawali (budak yang sudah dimerdekakan) yang berasal dari Khurasan (Iran) dan menetap di Kufah (Iraq). Alirannya lahir di Tirmiz (Iran utara). Jahm bin Shafwan dibunuh oleh Salma bin Ahwaz Al-Mazini penguasa yang ditunjuk oleh Bani Umayyah di Marwa (kini wilayah Turkmenistan, Rusia). Dia dibunuh bukan karena ajaran yang dikemukakannya, tapi karena keterlibatannya dalam tindakan pemberontakan terhadap Bani Umayyah.

Ajaran-ajaran pokok aliran Jabariyah yaitu :


  1. Masalah sifat Alloh swt. Jahm bin Shafwan tidak membenarkan Alloh swt diberi sifat-sifat yang terdapat pada makhluk-Nya. Yang demikian itu membawa penyerupaan Alloh swt dengan ciptaan-Nya. Namun diakui pula bahwa banyak ayat Al-Qur'an yang menyebutkan Alloh swt mendengar, melihat, berbicara dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut tidak dilihat secara lahiriyah (tekstual) melainkan dipahami secara konstekstual.

  2. Tentang Surga dan Neraka.Surga dan neraka serta aktivitas penghuninya akan berakhir. Firman Alloh swt yang berbunyi (mereka kekal di dalamnya) disebutkan majas, bukan kekekalan yang sesungguhnya sebab yang kekal hanyalah Alloh swt. Dalam ayat lain Alloh swt berfirman :
    Artinya : " Mereka (penghuni surga dan neraka) kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali Alloh swt menghendaki yang lain …".(QS. 11 : 107 - 108).Ayat tersebut menngandung syarat dan pengecualian kekekalan surga dan neraka. Bagi Jabariyah pahala dan siksaan pun merupakan paksaan karena didasarkan pada keyakinan bahwa manusia tidak memiliki pilihan dan daya. Manusia dalam paham ini hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang.

  3. Masalah Iman dan Kufur.Iman dan kekafiran bergantung sepenuhnya kepada keyakinan di dalam hati dan orang yang telah mengenal baik dengan Alloh swt kemudian ingkar dengan lidahnya tidak akan menjadi kufur karenanya. Bahkan juga tidak menjadi kafir sungguh pun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran Yahudi atau Nasrani kemudian mati, bagi Alloh swt orang demikian tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna. Firman Alloh swt :Artinya : "Bukanlah kamu yang menghendaki, tetapi Allohlah yang menghendaki". (QS. Al-Ihsan : 30).

  4. Tentang Qudrot dan Irodat Manusia.Manusia tidak mampu melakukan suatu perbuatan, tidak memiliki kemauan, kemampuan dan pilihan. Allohlah pencipta semua perbuatannya sebagaimana terjadi pada benda-benda. Misalnya manusia membaca, menulis, mendengar maka hal itu sama saja dengan Alloh swt membuat pohon tumbuh, berbuah, air mengalir dan sebagainya. Firman Alloh swt :Artinya : "Dan Allohlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat". (QS. As-Shaffat : 96).Ketika manusia dikatakan bahwa berbeda dengan benda mati karena manusia mempunyai kekuatan, kehendak dan pilihan, Allohlah yang menciptakan dalam diri manusia kekuatan atau daya, kehendak dan pilihan yang dengannya manusia bertindak. Dengan melihat pendapat Jabariyah seperti yang disebutkan di atas, maka apakah artinya Alloh swt mengutus Rosul dan menurunkan al-Qur'an yang penuh dengan perintah, larangan, janji dan ancaman ? Tidakkah itu menjadi sia-sia belaka ? Semuanya itu tidak sia-sia, karena semuanya itu pun untuk menjalankan ketentuan Alloh swt. Keadaan itu tidak bedanya dengan Alloh swt menurunkan hujan, menerbitkan matahari, bulan dan sebagainya.


QODARIYAH (FREE WILL AND FREE ACT)
Qodariyah berasal dari kata qodara yang berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Sedangkan sebagai aliran dalam ilmu kalam, qodariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Tentang kapan munculnya Qodariyah dalam Islam, secara pasti tidak diketahui. Namun ada sementara para ahli yang menghubungkan paham Qodariyah ini dengan kaum Khawarij. Tokoh pemikir pertama kali yang menyatakan paham Qodariyah adalah Ma'bad Al-Jauhani yang kemudian diikuti oleh Ghailan Al-Dimasyqi. Ma'bad Al-Jauhani adalah seorang ahli hadits dan tafsir Al-Qur'an, tetapi kemudian ia dianggap sesat dan membuat pendapat-pendapat yang salah serta batal. Setelah diketahui pemerintah waktu itu, ia dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwan pada tahun 80 H. Imam Nawawi mengatakan bahwa aliran Qodariyah saat ini sudah lenyap. Ajaran pokoknya sebagaimana yang dikemukakan oleh Ghailan Al-Dimasyqi yaitu bahwa manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri. Manusia tidak dikendalikan seperti wayang yang digerakkan oleh dalang tetapi dapat memilih. Beberapa dalil yang digunakan aliran Qodariyah :
Artinya : "Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat". (QS. As-Sajdah : 40).
Artinya : "Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah". (QS. Al-Kahfi : 29).


KESIMPULAN
Menurut penulis solusi terhadap pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah yaitu bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Alloh swt, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah Alloh swt.Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah yang begitu lemah tetap bisa diberlakukan secara temporal, terutama dalam langkah awal menyampaikan dakwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai golongan Islam yang masih memerlukan pengayoman. Di samping itu pendapat-pendapat Jabariyah sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrot dan irodat Alloh swt, ditambah pula dengan sifat wahdaniat-Nya.

Sementara bagi qodariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan dan juga kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan.Dari keterangan ajaran-ajaran Jabariyah dan Qodariyah tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa mereka (Jabariyah dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Alloh swt dengan sesempurna-sempurnanya. Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat.Demikian makalah dari kami yang berjudul "Jabariyah dan Qodariyah" kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan di masa mendatang.


DAFTAR PUSTAKA




  1. Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam Ringkas, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1996.

  2. Depag RI, Ensiklopedia Islam, Jakarta, CV. Anda Utama, Jilid II, 1993.

  3. Dr. Jalaludin Rahman, Konsep Perbauatan Manusia Menurut Qur'an : Suatu Kajian Tafsir Tematik, Jakarta, Bulan Bintang, Cet. I, 1992.

  4. Drs. Abuddin Nata, M.A, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta, PT. Raha Grafindo Persada, Cet. II, 1994.

  5. Prof. Dr. Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam : Pemikiran dan Peradaban, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve

  6. Prof. K.H.M Taib Thahir Abdul Mu'in, Ilmu Kalam, Jakarta, Widjaja, Cet. III, 1975




Perbandingan Antar Aliran Mengenai Aktivitas Manusia


Ketika kejayaan Islam sudah sampai pada puncak kemegahannya, maka bersamaan dengan itu kejayaan ilmu pengetahuan pun sudah sangat mendalam.  Penerjemahan buku secara besar-besaran, baik dari buku yang berbahasa Arab ke bahasa Yunani maupun sebaliknya, merupakan bukti dari jaman keemasan Islam pada abad ke-2 Hijriyah itu.
Akibat dari transformasi pengetahuan Yunani itu terjadi perubahan arah berpikir yang dimiliki umai Islam. Salah satu perubahan itu adalah berkaitan dengan persoalan Aktivitas Manusia. Ilmuwan Yunani terpecah menjadi  dua kelompok besar dalam menyikapi persoalan tersebut; yaitu kelompok Al-Abiqariyun dan Ar-Ruwaqiyun([1]).
Al-Abiqariyun berpendapat bahwa manusia berkehendak bebas tanpa paksaan, sedangkan Ar-Ruqaqiyun berpendapat sebaliknya([2]). Dari perbedaan pendapat tersebut lahir istilah-istilah baru -yang tidak dikenal pada masa awal Islam - seperti Al-Jibr dan Al-Ikhtiyar. Istilah itu kemudian berkembang ketika diserap oleh ulama Islam dengan istilah Qodlo’ dan Qodar, dengan perluasan pembahasan pada kekuasaan Alloh dan keadilan-Nya. Artinya, pembahasan mengenai aktivitas manusia - ketika pembahasan itu masuk pada belantika pergolakana pemikiran Islam- dikait-kaitkan dengan persoalan keadilan dan kekuasaan Alloh.
Dengan demikian, sejak abad ke-2 Hijriyyah berkembang pula kelompok-kelompok teologis dalam Islam. Kelompok-kelompok ini terus-menerus berdebat atau ber-jidal, sehingga mereka biasa pula dengan istilah Ahli Kalam, Al-Mutakallimun, orang-orang yang sukangomong([3]).

Perbuatan Manusia dan Aliran-aliran Teologis


Sebelum dijelaskan lebih terperinci mengenai konsep aktivitas manusia dalam kajian teologis, akan lebih baik jika penulios memaparkan terlebih dajulu madzab teologis dan pemikirannya mengenai perbuatan manusia. Penulis hanya akan mengangkat 3 aliran teologis, karena - menurut penulis - hanya 3 aliran teologis itulah yang representatif untuk dikaji secara mendalam tentang konsep pemikirannya.




A. Mu’tazilah


Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala, yang berarti menyendiri, karena memang menyendiri dari kelompok ngajinya Hasan Al-Basyri([4]); di mana tokohnya yang bernama Abi Hudzaifah Wasil bin ‘Atho’ Al-Ghozzal (80 - 131 H), yang hidup pada masa ‘Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin ‘Abdul Malik, memang pernah menjadi murid Hasan Al-Basyri.
Kelompok Mu’tazilah biasa disebut dengan Ash-habul ‘Adl & Ash-habul Tauhid; dan diberi gelar dengan Qodariyah & ‘Adliyah([5]). Kelompok / aliran ini dalam kitab Al-Milal Wa  An-Nihal dicaci dengan hadits RasuluLlah SAW :
“ Al-Qodariyah, Majusi-nya ini ummat”.


Pemikiran-pemikiran Aliran Mu’tazilah Mengenai Perbuatan Manusia


Kelompok ini memiliki banyak pemikiran mengenai teologis. Namun penulis membatasi hanya pada persoalan yang berkaitan dengan topik; yaitu perbuatan manusia.
Mereka berpendapat bahwa seorang hamba itu berkuasa (qodirun) dan mencipta (kholiqun) atas aktivitas-aktivitas / perbuatan - perbuatannya sendiri, baik jelek maupun baik. Ia berhak atas aktivitas itu pahala atau siksaan. Adapun Tuhan  sangat suci dari kejelekan dan kezholiman, karena seandainya Allah yang menciptakan kedholiman, maka ia Zholim, sebagaimana ia menciptakan keadilan, maka ia ‘Adil([6]). Konsep di atas biasanya mereka kaitkan dengan konsep Keadilan Allah; artinya, bahwa Keadilan Allah tidak mungkin berma’na kecuali memberikan kebebasan pada manusia untuk berbuat. Apabila manusia berbuat atas kehendaknya, kemudian dibalas oleh Allah, maka balasan itu logis([7]).
Bahkan manusialah yang mengetahui serta mewujudkan segala yang diamalkannya itu; semuanya dengan qudrat manusia sendiri. Tuhan sama sekali tidak campur tangan di dalam membuktikan amalan-amalan itu([8])
Dengan demikian -- masih menurut mereka -- buat apa  Allah menciptakan neraka dan syurga serta mengutus Rasul-rasulNya, kalau kemudian aktivitas-aktivitas manusia sudah dicipta oleh Allah. Dan sungguh dholim bagi Allah -- yang ia dzat yang tidak pernah zholim -- jika ia memasukkan seseorang ke dalam neraka sedangkan ia sendiri yang mencipta dan memaksa seseorang itu untuk berbuat sesuatu sehingga ia masuk neraka. Dan sangatlah sia-sia bagi Rasul-rasul-Nya untuk berda’wah, karena mereka berda’wah kepada robot-robot yang sudah di-stel untuk berbuat baik ataupun jelek. Ini semua tidak mungkin terjadi pada diri Allah, karena ia sangat suci dari sifat-sifat yang tercela dan zholim.
Demikianlah Mu’tazillah / Qodariyah mempertahankan konsepnya dengan menggunakan kaidah ‘aqliyah (rasional). Untuk memperkuat pendapatnya dan menyakinkan akan kebenaran konsep-konsepnya, mereka menggunakan dalil-dalil naqliy, yaitu : QS. Al-An’am 148, QS. Al-Ghofir 31, QS. Az-Zumar 7 dan lain-lain.
Mereka berusaha untuk men-ta’wil-kan ayat-ayat yang bertentangan dengan konsep mereka, seperti : QS. Al-Baqarah 6-7, QS. Ash-Shoffat 96 dan lain-lain.
Adapun mengenai hal-hal yang lahir dari aktivitas manusia, seperti : rasa sakit, manis, pahit, panas, dan lain-lain diciptakan oleh manusia pula, karena manusialah yang mewujudkan  hal itu([9]).
Dari sini bisa disimpulkan bahwa menurut Mu’tazilah :
a. Perbuatan manusia adalah atas dasar kehendak dan kekuasaan manusia
b. Hal-hal yang lahir dari aktivitas manusia, seperti : rasa sakit, manis, pahit, keberanian dan lain-lain diwujudkan pula oleh manusia


B. Jabariyah


Jabariyah berasal dari kata Al-Jabr, yaitu menafikan aktivitas pada hamba([10]). Tokoh dari kelompok ini adalah Jaham bin Shofwan, yang oleh karenanya kelompok ini biasa disebut Jahamiyah([11]).
Pemikiran-pemikiran Jabariyah mengenai perbuatan manusia secara ringkas sebagaimana di bawah ini.
Manusia tidak mempunyai daya upaya / ikhtiyar. Bahkan sekalian hasil perbuatan manusia dijadikan oleh Allah, bukan oleh manusia([12])
Jabariyah yang juga disebut dengan Fatalism atau Predestination berpendapat bahwa memang sejak semula, perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan oleh Tuhan. Perbuatan-perbuatan bukanlah timbul dari daya dan kemauan yang bebas dari manusia. Manusia dalam aliran ini tidak mempunyai kemerdekaan, tidak ubahnya sebagai wayang yang tidak akan bergerak kalau tidak digerakkan oleh dalang([13])
Mereka berpendapat jika manusia mampu mewujudkan perbuatannya serta sekaligus menciptakannya maka manusia telah membatasi kekuasaan Allah. Hal itu tidaklah mungkin, karena Allah-lah penguasa yang memiliki kekuasaan tunggal dan tidak akan bisa dibatasi oleh makhlik apapun. Untuk memperkuat pendapat itu. Jabariyah berargumen dengan ayat-ayat Al-qur’an seperti : QS. Al-Qashash 56, Qs. Al-Insan 30 dan lain-lain. Mereka juga men-ta’wilkan ayat-ayat yang kelihatannya bertentangan dengan konsep mereka.
Adapun mengenai hal-hal yang lahir dari perbuatan manusia dan benda-benda seperti : rasa takut, manis, pahit dan sebagainya, itu semua semata-mata dicipta oleh Allah, bukan oleh manusia([14]).


C. Ahlu As-Sunnah Wa al-Jama’ah


Kelompok Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama'ah biasanya di-nisbath-kan pada Abu Al-Hasan Ali bin Al-Isma’il Al-Asy’ary([15]), karena berkat dirinyalah kelompok ini sangat dikenal dengan istilah “Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama'ah”; yaitu kelompok tengah-tengah (moderat antara Mu’tazilah dan Jabariyah).([16])
Aliran ini berusaha untuk mengkompromikan antara pendapat Mu’tazilah dan Jabariyah. Mereka berpendapat bahwa :
Allah ta’ala yang menciptakan segala sesuatu, sedangkan  hamba yang berusaha”.
Perbuatan itu ditentukan oleh Allah dari sisi mewujudkan dan ditentukan oleh manusia dari sisi usaha([17])
Artinya manusia mempunyai iradah yang dengan iradah itu manusia dapat menuju suatu tujuan untuk membuktikan suatu perbuatan. Manusia juga mempunyai qudrat yang dengannya dapat melaksanakan suatu perbuatan.
Demikian pula Allah mempunya iradah yang menghendaki agar manusia mempunyai kehendak untuk membuktikan perbuatannya. Allah menghendaki hal itu disertai dengan kekuasaaa-Nya untuk mewujudkan.
Akan tetapi perjalanan qudrat manusia dan qudrat Allah terhadap suatu perbuatan itu berlainan caranya, sebab kekuasaan Allah tertuju untuk membuktikan dan mewujudkan perbuatan, sedangkan kekuasaan manusia hanyalah berlaku untuk menerima kekuasaan Allah semata.
Artinya, ketika Allah mewujudkan pekrbuatan tadi, kepada manusia diberikan  sesuai sesuai dengan hasrat yang dikandungnya untuk melakukan perbuatan tadi.([18])
Untuk memperkuat pendapat yang dibangun, mereka menggunakan dalil-dalil seperti uang digunakan Mu'tazilah dalam membuktikan bahwa manusia mempunyai usaha dan dalil-dalil yang digunakan Jabariyah dalam membuktikan bahwa Allah yang mewujudkan perbuatan itu pada manusia melalui perwujudan perbuatan sesuai dengan hasrat manusia.


Belum Bisa Mengurai Benang Yang Kusut


Apa yang dilakukan oleh kelompok Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama'ah belum bisa mengurai benang yang semrawut dan rumit, bahkan mereka masih terjebak pada paham Jabariyah, karena masih “memberikan” kekuasaan pada Tuhan  secara mutlak. Hal ini bisa dilihat dari indikator bahwa ketika Tuhan mewujudkan kekuasaan pada kekuasaan manusia, maka secara tidak langsung mengatakan bahwa manusia tidak bisa berusaha (kasb) ketika Allah tidak mewujudkan kekuasaan-Nya pada manusia. Indikator ini nampak sangat jelas dilihat pada kitab Jauharatut Tauhid :
Artinya :
Menurut Kami (Ahlu Sunnah), manusia itu harus berusaha dan usaha itu tidak akan memberikan pengaruh, ketahuilah akan hal itu
Maksudnya, usaha manusia itu tidak berarti apa-apa tanpa perwujudan kekuasaan Tuhan pada diri manusia. Dan semakin membingungkan jika ada seseorang yang berzina  dan ia melegalkan hal dengan bukti : akhirnya si pezina ber-kasb, yaitu melakukan perbuatan itu, sebab tidak mengkin pezina melakukan perzinaan kalau Tuhan tidak mewujudkan kekuasaan-Nya pada’azzamnya.
Dari uraian di atas, sangat jelas sekali bahwa kelompok yang menamakan dirinya dengan Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama'ah – baik secara teoritis maupun relaistas – tidaklah dianggap sebagai kelompok tengah-tengah, karena justru realitasnya banyak kelompok thariqat muncul dari Al-Asy’ariyah dan mereka berpegang teguh dengan kitab-kitab dari kelompok itu, seperti : Jauharatut Tauhid, ‘Aqidatul ‘Awwam dan lain-lain.

Mengurai Benang Kusut :
Sebagai Kajian Kritis Yang Alternatif
Demikianlah pemaparan mengenai masalah perbuatan manusia yang lebih dikenal di kalangan mutakallimin dengan istilah Qadla’ dan Qadar; yang tidak pernah mencapai “ pencerahan  ”  dalam persoalan itu.
Kalau kita kaji secara kritis pada pemikiran-pemikiran mereka (aliran-aliran teolegis) ternyata mereka selalu mengkait-kaitkan dengan sifat keadilan atau kekuasaan Allah sebagaimana yang dilakukan oleh Mu’tazilah. Mereka membuat hujjah dengan landasan keadilan Tuhan. Sedangkan Jabariyah mengkaitkan hujjah mereka dengan sifat kekuasaan Allah yang  mutlak. Kemudian Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama'ah bahkan mengkaitkan pula dengan kekuasaan dan kehendak Allah dalam membahas aktivitas manusia.
Jadi, dari sinilah berawal persoalan yang tidak kunjung selesai itu, karena topik utama yaitu aktivitas / perbuatan manusia dicampur-aduk dengan topik-topik lain seperti sifat-sifat Allah. Padahal kita semua mengetahui bahwa sangat sulit kita memikirkan hal-hal yang di luar jangkauan akal manusia, seperti sifat keadilan dan kekuasaan Tuhan; kecuali jika kita membahasnya dari sisi Imanen, yaitu etik kemanusiaan. Bagaimana manusia mampu bersifat adil dan tidak sok kuasa pada manusia lain. Pembahasan dalam persoalan seperti itu adalah sah-sah saja. Namun jika pembahasan sifat-sifat Allah dikaji hakekat/esensinya dari sudut pandang teologis ketuhanan tentu tidak akan bisa, karena akal manusia sangat terbatas pada hal-hal semacam itu. Dan jika hal itu dikaitkan dengan perbuatan manusia, tentu sangatlah rumit untuk dipahami. Nah, hal seperti itulah yang terjadi pada kalangan mutakallimin.
Oleh karena itu, dalam pembahasan mengenai perbuatan manusia hendaknya tidak dikaitkan dengan topik pembahasan yang  lain, seperti : keadilan Tuhan, Lauhul Mahfudz, ilmu Allah, dan sebagainya. Namun pembahsan itu harus disendirikan pada dua hal :
a. Perbuatan manusia :apakah terbatas atau bebas
b.
Hal-hal yang lahir dari aktivitas/perbuatan manusia atau benda-benda

Perbuatan Manusia dan Hal-hal Yang Lahir dari Perbuatan Manusia atau Benda-Benda


Jadi dari uraian di atas konsentrasi kajian ini seharusnya hanya pada perbuatan manusia, bukan aktivitas Allah (seperti : sifat-Nya, Al-Kalam, dan lain-lain). Dan kalau diteliti, perbuatan manusia itu dibagi menjadi dua wilayah([19])

a.
Ad-Dairah al-Lati Tusaithiru ‘Alaihi (Wilayah Yang Menguasai Manusia)
Dalam wilayah ini, aktivitas manusia dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Yang berhubungan dengan hukum alam secara langsung.
Artinya, manusia harus tunduk terhadap hukum alam yang dibuat oleh Allah. Manusia tidak mampu menentukan kehendaknya. Manusia tidak dapat berkehendak untuk lahir dalam keadaan putih atau lahir di Malang . Manusia tidak dapat terbang kecuali dengan alat bantu. Dalam wilayah ini, manusia tidakl mukhayyar, namun mujbir, dipaksa untuk mengikuti aturan yang telah dibuat.
2. Yang berhubungan dengan hukum alam secara tidak langsung
Artinya, manusia harus tunduk pada kelemahan yang ada pada dirinya atau tunduk pada kekuatan orang lain.
Contoh : Apabila tertimpa oleh sebuah batu besar dari atas tebing dan tidak mampu untuk menghindarinya atau jika pemburu yang lagi membidikkan senapannya pada semak-semak yang bergoyang, karena ia mengira ada kijang di balik semak-semak itu, tetapi setelah ditembak ternyata yang terkena adalah manusia, maka keduanya, yang menembak dan yang ditembak tidak berdaya, alias tidak berkehendak untuk berbuat itu.
Dalam wilayah ini manusia tidak bebas dan tidak memiliki kekeuatan untuk mengatur kehendaknya. Oleh karena itu tidak ada kaitannya dengan siksa dan pahala. Hal inilah yang disebut Qadla’. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Qadla’ tidak ada kaitan sama sekali dengan siksa dan pahala.

b.
Ad-Dairah al-Lati Yusaithiru ‘Alaiha al-Insan (Wilayah Yang Dikuasa Manusia )
Pada wilayah ini, manusia memiliki kuasa atau kemapuan mengatur kehendaknya untuk berbuat sesuatu, baik dalam masalah ibadah maupun kehidupan sehari-hari ; seperti : sholat, puasa, zakat, perbuatan buruk : zina, merampok, dan sebagainya, ataupun perbuatan seperti : makan, minum, tidur, dan sebagainya. Semua itu manusia yang berkehendak untuk berbuat. Oleh karena itu, mereka nantinya akan dibalas/disiksa apabila perbuatan tersebut salah dan mendapatkan pahala apabila benar (menurut syara’). Pada wilayah ini jangan kita menyebut Qadla’, misalnya : “Sholat itu qadla’ Allah atau saya makan ini qadla’ Allah”.
Adapun yang disebut Qadar adalah aktivitas-aktivitas yang dapat terjadi pada wilayah pertama maupun kedua, karena qadar itu terjadi pada benda-benda, baik itu alam, manusia atau kehidupan. Jika diteliti, maka  bisa dilihat bahwa seluruh benda-benda (termasuk manusia) yang ada di alam ini memiliki kekhasan tersendiri dan itu dicipta  oleh Allah, bukan oleh benda-benda atau manusia. Misalnya : biji apel memiliki kekhasan akan tumbuh menjadi pohon apel dan bebuah apel, manusia bisa sakit karena pada tubuh manusia ada kekhasan tertentu yang jika tidak terjadi keseimbangan akan menimbulkan rasa sakit.
Itu semua dicipta atau di qadar (takar) oleh Allah, bukan manusia. Adapun dalil bahwa bukan manusia yang mencipta adalah karena manusia tidak sanggup membuat dirinya sakit sesuai dengan kehendaknya, namun manusia hanya bisa membuat kondisinya saja. Manusia tidak bisa mengubah biji apel tumbuh menjadi pohon sawo dan berbuah duren.
Namun, manusia dengan akalnya mampu mengetahui  qadar pada dirinya, pada benda-benda di sekitarnya, sehingga manusia bisa memprediksi secara ilmiah macam-macam penyakit dan cara mengobatinya. Manusia dapat mengetahui kejadian-kejadian di alam semesta, seperti : munculnya gerhana, hilal atau pun tubrukan komet jauh sebelum kejadiannya.
Adapun yang dimaksud Qadla’ dan Qadar di sini adalah Qadla’ dan Qadar dalam perdebatan mutakallimin. Jadi dari pembahasan diatas jika yang dimaksud Qadla’ adalah perbuatan manusia dalam wilayah yang tidak ada kehendak dan Qadar adalah kekhasan yang tercipta, maka Qadla’ dan Qadar itu adalah dari Allah.


Studi Kasus : Perdebatan tentang Muhammad menjadi Rasul
Berkaitan dengan pembahasan mengenai aktivitas manusia, maka perdebatan tentang bagaimana Muhammad menjadi Rasulullah adalah suatu kajian yang menarik untuk diikuti. Perdebatan itu bisa dirangkai dalam suatu pertanyaan : Allah memilih Muhammad sebagai seorang Rasul terakhir itu apakah karena beliau memang memiliki sifat-sifat yang memenuhi kriteria sebagai seorang Rasul ataukah semata-mata karena ketentuan Allah ? Apakah sifat-sifat Rasul itu – dengan  demikian – dibangun oleh Allah ?
Adalah sangat masuk akal jika Muhammad terpilih menjadi seorang pembawa risalah terakhir kepada umat manusia, mengingat sifat-sifat yang dimiliki beliau tidak dimiliki oleh banyak orang; sehingga memang layak bagi beliau untuk menjadi seorang Rasul. Sebagaimana kita tahu, bahkan sejak kecil beliau telah terkenal kebaikannya sehingga mendapatkan gelar Al-Amin. Beliau memiliki sifat jujur, amanah, cerdik, dan penyampai (yaitu menyampaikan wahyu yang diturunkan kepadanya); dimana kita mengenalnya sebagai sifat wajib Nabi.
Namun, apakah “hanya” karena itulah Muhammad dipilih menjadi Rasul ? Apakah karena kejujuran Muhammad tersebut sehingga beliau diangkat menjadi seorang Nabi ? Kalau kriteria dipilihnya Muhammad menjadi seorang Rasul karena sifat kejujurannya, mengapa sahabat beliau Abu Bakar tidak menjadi Nabi pula ? Bukankah Abu Bakar terkenal juga kejujurannya sehingga beliau diberi gelar Ash-Shiddiq ? Atau mengapa Allah tidak memilih Abu Dzar Al-Ghiffary menjadi seorang Rasul ? Kita tahu bahwa Abu Dzar adalah seorang yang telah bertauhid dan mengajak kaumnya untuk menyembah Tuhan Yang Maha Satu jauh sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul.
Dengan demikian, maka dapat ditarik satu benang merah bahwa ketika Allah memilih Muhammad menjadi seorang Rasul, maka pemilihan itu tidak ada keterkaitannya dengan sifat-sifat beliau. Kalau hanya sifat-sifat beliau yang menjadi kriteria, maka banyak sahabat lain yang “seharusnya” menjadi Nabi pula karena sifat-sifat yang dimilikinya. Oleh karena itu, Muhammad dipilih menjadi seorang Rasulullah sepenuhnya merupakan Haq Allah.
Permasalahannya sekarang, apabila pemilihan Muhammad sebagai seorang Rasul sepenuhnya menjadi Haq atau ketentuan Allah, apakah memang sifat-sifat yang dimiliki Muhammad merupakan manifestasi dari ketentuan itu ?
Kalau dikaji secara lebih mendalam, lepas dari sisi kema’shuman Rasulullah, sifat-sifat yang dimiliki Muhammad dibangun oleh beliau sendiri dilihat dari sisi beliau sebagai seorang manusia biasa sebagaimana yang lain. Muhammad sendiri tidak pernah merasa sebelumnya bahwa pada suatu saat beliau akan diangkat menjadi seorang Rasul, sehingga wajar saja jika beliau sudah mempersiapkan dirinya lahir batin sejak awal. Semua sifat yang dimilikinya semata-mata hadir dari pasang surut proses perjalanan hidupnya sebagaimana manusia biasa. Beliau pernah menggembalakan kambing, berdagang ke negeri Syam, menikah dengan Siti Khadijah, dan aktivitas-aktivitas sebagaimana dilakukan orang lain; yang kesemuanya itu menempa kepribadiannya sedemikian rupa sehingga memiliki sifat-sifat yang sedemikian agung. Hingga pada suatu saat beliau sering ber-uzlah ke Gua Hira’, memikirkan masyarakat beliau yang penuh dengan kedhaliman dan kebodohan; pada akhirnya diangkatlah beliau menjadi seorang Rasul.
Dengan demikian, sebenarnya sifat-sifat wajib Nabi sebagaimana kita kenal selama ini  “wajib” juga dimiliki oleh seluruh manusia sebagai makhluk yang paling mulia, bukan hanya para Nabi. Hal ini merupakan refleksi dari kesadaran ‘aqliyah yang telah diberikan kepada manusia sebagai konsekuensi dianugerahinya akal bagi dirinya; bahwa untuk mencapai ridho-Nya maka manusia wajib memiliki sifat-sifat sebagaimana dimiliki para Rasul. Apakah kemudian setiap manusia bisa menvapai derajat seperti Nabi atau tidak, itu persoalan lain.
Dari sini bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa :
1. Muhammad dipilih menjadi Nabi itu semata-maa merupakan haq Allah
2.
Allah memilih Muhammad menjadi Nabi tidak ada keterkaitan dengan sifat-sifat yang beliau memiliki
3.
Sifat wajib Nabi yang kita kenal selama ini sebenarnya dibangun oleh Nabi sendiri dari proses perjalanan sepanjang hidupnya
4.
Sifat wajib Nabi itu, dengan demikian, sebenarnya “wajib”  juga dimiliki oleh sekalian manusia sebagai manifestasi dari kesadaran  ‘aqliyah yang dimilikinya.

Sahrul Mujib Tbn

Terima Kasih atas kunjungan Anda, semoga apa yang ada dalam blog ini bermanfaat bagi saya khususnya, dan bagi Anda semua umumnya. Saya tunggu saran dan kritikan dari Anda semua, terima kasih dan jangan ragu untuk berkunjung lagi.